Hukum berwudhu' dgn memasukan telapak tangan ke dlam gayung

Assalamualaikum wr wb.
Deskripsi masalah: 
Akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan mengenai apakah boleh berwudhu dengan air yang ada di dalam gayung? Jika diperhatikan, air di dalam gayung tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai air yang lebih dari dua qullah, ini karena air tersebut tidak mencapai 270 liter atau setara dengan 81 rithl menurut perhitungan orang Syam.
Pertanyaan :

 Assalamu'alaikum 
Guru guru yg di Rahmati Alloh

Semoga guru guru semua ada dslam kesehatan selalu
Aamiin ya Robbal'alamiin 
Afwan Ulun hendak Bertanya

Tentang hukum Tharahah

Berwudhu dengan Air Satu gayung saja, Bolehkah ? 
Dan Sahkan Wudhu nya??

Mohon pencerahan nya dan ibarah nya

Wa jazakumulloh
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Jawaban :

 Syarat syarat air yang sah di gunakan untuk berwudhu diantaranya adalah,air itu suci dan menyucikan.
Kalau air itu sedikit (satu gayung) cara menggunakan nya harus di cucurkan,
Kalau menggunakan nya dengan memasukkan tangan ke dalam gayung itu maka wajib niat (اغتراف)


Bila seseorang berwudhu dengan cara menuangkan air sedikit demi sedikit dari wadahnya (gayung) ke anggota wudhu tanpa memasukkan tangan ke dalam wadah air, maka cara ini adalah cara yang disepakati kebolehannya. Bahkan inilah cara berwudhu yang standar bila memakai air yang sedikit (jumlahnya kurang dari 2 qullah). Adapun bila memakai air banyak atau air yang jumlahnya melebihi ukuran dua qullah (sekitar 270 liter menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaily), maka tak masalah baik berwudhu dengan cara airnya dituangkan atau berwudhu di dalam wadah airnya.

 Adapun bila seseorang berwudhu dengan cara memasukkan tangannya ke dalam gayung, maka cara ini butuh perincian lebih lanjut tentang keabsahannya sebab air yang jumlahnya kurang dari dua qullah akan menjadi musta’mal (air sisa) ketika sudah dipakai untuk menyucikan satu anggota wudhu sehingga dalam pandangan banyak ulama, terutama Syafi’iyah, ia tak bisa dipakai lagi untuk menyucikan anggota wudhu lainnya. Imam Nawawi berkata: 

وَلَوْ غَمَسَ الْمُتَوَضِّئُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْ غَسْلِ الْوَجْهِ، لَمْ يَصِرْ مُسْتَعْمَلًا. وَإِنْ غَمَسَهَا بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْوَجْهِ بِنِيَّةِ رَفْعِ الْحَدَثِ، صَارَ مُسْتَعْمَلًا. وَإِنْ نَوَى الِاغْتِرَافَ، لَمْ يَصِرْ،

Apabila seseorang mencelupkan tangannya ke dalam wadah air sebelum ia selesai dari membasuh muka maka airnya tidak menjadi musta’mal.. Apabila ia mencelupkan tangannya setelah selesai membasuh muka dengan niatan untuk menghilangkan hadas tangan maka airnya menjadi musta’mal. Apabila ia berniat ightirâf maka tidak menjadi musta’mal.” (an-Nawawi, Raudlat al-Thâlibîn, juz I, halaman 9)

Lebih jelasnya, Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’alawi menjelaskan praktiknya seperti berikut: 

ـ (فإذا أدخل) الجنب جزءاً من بدنه باقياً على جنابته بعد نية الغسل، أو (المتوضىء) جزءاً محدثاً من يده اليمنى أو اليسرى (يده في الماء القليل بعد غسل وجهه) ثلاثاً… (غير ناو الاغتراف) بأن أدخلها بقصد غسلها في الإناء، أو مع الإطلاق ( ... صار الماء مستعملاً) ـ  

“Apabila seseorang yang junub memasukkan sebagian badannya yang statusnya masih junub setelah ia berniat untuk mandi, atau seorang yang berwudhu memasukkan sebagian anggota tubuhnya yang masih berhadas, berupa tangan kanan atau kiri, ke dalam air yang sedikit setelah ia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali, .... tanpa ia berniat untuk ightirâf, semisal ia memasukkan tangannya dengan niat membasuhnya di dalam wadah atau tanpa niat apapun maka airnya menjadi musta’mal.” (Sa’id bin Muhammad Ba’alawi, Syarh Muqaddimah al-Hadlramiyah, halaman 77). 
Jadi, permasalahan utamanya terletak pada niat ightirâf. Bila seseorang memasukkan tangannya ke dalam gayung atau wadah air lainnya dengan niat ightirâf, maka airnya tidak menjadi musta'mal sehingga tak masalah untuk dipakai melanjutkan wudhu. Akan tetapi bila tanpa niat ightirâf ini, maka airnya berstatus sebagai air musta’mal sehingga tak bisa dipakai melanjutkan wudhu dan harus diganti dengan air lainnya. Niat ightirâf ini tempatnya ketika awal mula tangan menyentuh air dalam wadah. Syaikh asy-Syarwani berkata:

 وَالْوَجْهُ الَّذِي لَا مَحِيصَ عَنْهُ وَلَا التَّفَاوُتُ لِغَيْرِهِ أَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ نِيَّةُ الِاغْتِرَافِ عِنْدَ أَوَّلِ مُمَاسَّةِ الْيَدِ لِلْمَاءِ حَتَّى لَوْ خَلَا عَنْهَا أَوَّلَ الْمُمَاسَّةِ صَارَ الْمَاءُ بِمُجَرَّدِ الْمُمَاسَّةِ مُسْتَعْمَلًا 

“Pendapat yang tak bisa diabaikan dan tidak boleh ditukar dengan yang lain adalah bahwasanya niat ightirâf tidak boleh tidak harus dilakukan ketika awal mula tangan menyentuh air sehingga apabila di waktu awal persentuhan tersebut tidak ada niat, maka airnya menjadi musta’mal hanya dengan menyentuhnya saja.” (Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwâni, juz I, halaman 81). Uraian di atas adalah pendapat yang dianggap kuat dalam mazhab Syafi’i yang difatwakan sebagai pendapat resmi mazhab. Semuanya bertumpu pada ada tidaknya niat ightirâf. Lalu apa niat ightirâf itu? Secara bahasa, ightirâf berarti mengambil air. Niat ightirâf dalam istilah fiqih adalah niatan dalam hati untuk mengambil air keluar dari wadahnya untuk dipakai menyucikan anggota wudhu di luar wadah. Niat ini sebagai penegasian bahwa tangan menyentuh air tidak dalam rangka menghilangkan hadas tangan di dalam wadah, melainkan sebagai media untuk mengambil air saja.
________________________________
Tambahan:

Ada dua cara untuk menggunakan air dalam gayung untuk berwudhu. Cara yang pertama yang tidak diperdebatkan adalah dengan mengalirkan air, sedangkan cara yang kedua adalah dengan menjadikan telapak tangan (anggota wudhu) untuk mengambil air yang sedikit tersebut. Cara yang kedua ini masih banyak diperdebatkan oleh ulama.

Dalam Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin, Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dimyathi (w. setelah 1302 H) menjelaskan persoalan kebolehan menggunakan air dalam ina’ (wadah; seperti gayung) untuk bersuci selama air tersebut tidak musta’mal. Adapun air dinamakan sebagai air musta’mal jika memenuhi empat hal berikut:

Pertama, air yang sedikit atau tidak sampai dua qullah

Kedua, air tersebut telah digunakan untuk melakukan hal-hal yang wajib. Ini seperti membasuh muka dalam berwudhu, atau membasuh rambut saat mandi besar.

Ketiga, air tersebut telah terpisah atau menetes dari anggota tubuh (anggota wudhu/janabah).

Keempat, tidak adanya niat untuk ightiraf (menggunakan tangan sebagai alat mengambil air) ketika hendak menyentuh air dalam wadah. Dalam kasus mandi besar, ketika telah berniat untuk mandi janabah dan ia tidak berniat menjadikan tangannya sebagai gayung (ightiraf), maka air tersebut tergolong musta’mal ketika telah disentuh oleh tangannya, sedangkan dalam berwudhu air ketika air dalam gayung telah digunakan untuk membasuh muka, dan ketika hendak membasuh tangan dan ia tidak berniat untuk ightiraf maka air tersebut akan menjadi musta’mal.

Berikut teks yang terdapat dalam Hasyiyah I’anah:

واعلم أن شروط الاستعمال أربعة، تعلم من كلامه: قلة الماء واستعماله فيما لا بد منه، وأن ينفصل عن العضو، وعدم نية الاغتراف في محلها وهو في الغسل بعد نيته، وعند مماسة الماء لشئ من بدنه. فلو نوى الغسل من الجنابة ثم وضع كفه في ماء قليل ولم ينو الاغتراف صار مستعملا. وفي الوضوء بعد غسل الوجه وعند إرادة غسل اليدين، فلو لم ينو الاغتراف حينئذ صار الماء مستعملا

Keterangan tentang ketidak musta’malan air yang sedikit tersebut selama ada niat ightiraf juga dapat dijumpai dalam beberapa kitab lain seperti, Mughni al-Muhtaj dan al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.


Wallahu A'lamu bisshowab..


Penanggung jawab: @ummi/ امي دندازهيرة

Perumus dan mujawwib:   @Ust khosiyanto spdi @ust Aby Abd Hady @Ustadz M . Hasyiem Ritonga spd  @Ustad عاشق العلماء,  @ustd Ishadi 
@Ustadzah Al Maidatul Mutiara Annisa
dan Tim Admin yg lainnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Menolak Perjodohan Dari Orang Tua

Hukum Baju Yang Transparan Bagi Perempuan

HUKUM SHOLAT LIHURMATIL WAKTI/لفاقد الطهورين