HUKUM SHOLAT LIHURMATIL WAKTI/لفاقد الطهورين
Pertanyaan:
Kalau keadaannya seperti ini, apakah kita tetap shalat atau tidak? Kalau tetap harus shalat, lantas bagaimana caranya? Mohon penjelasan dari ustadz. Soalnya sampai sekarang saya ragu-ragu.
Apa yang antum tanyakan itu dalam bab-bab fiqih klasik masa lalu sudah tuntas dibahas. Istilahnya adalah faqidu ath-thahurain, yaitu orang yang kehilangan dua media bersuci. Maksudnya adalah seseorang berada pada keadaan tidak ada air untuk berwudhu, sekaligus tidak ada tanah untuk bertayammum.
Jawabnnya memang harus kita akui bahwa para ulama berbeda pendapat, apakah tetap harus shalat atau tidak? Kalau tetap harus shalat lalu bagaimana cara shalatnya.
Kalau kita merujuk kepada kitab-kitab fiqih klasik dari sumber-sumber aslinya di keempat mazhab utama fiqih Islam yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, ternyata semuanya punya jawaban yang saling berbeda-beda.
Berikut adalah ringkasan petikan dari berbedaan pendapat di antara keempat mazhab itu :
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa orang yang tidak mendapatkan air atau tanah untuk bersuci, maka dia tetap diwajibkan melakukan gerakan seperti orang yang sedang shalat, dengan ruku' dan sujud tapi tidak membaca surat Al-Fatihah atau ayat Al-Quran. [1]
Nanti bila telah menemukan air atau tanah dan dimungkin shalat, wajib untuk mengulangi shalatnya.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, orang tersebut tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu mengulangi bila sudah memungkinkan dan juga tidak perlu mengqadha'. Sebab dalam pandangan mazhab ini, kewajiban shalat gugur dengan sendirinya pada saat tidak ada air dan tanah.[2]
3. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah, orang tersebut tetap wajib melaksanakan shalat seperti biasa, dengan berniat shalat sesungguhnya, bukan sekedar melakukan gerakan seperti orang shalat sebagaimana mazhab Al-Hanafiyah. Dia tetap harus membaca Al-Fatihah dan bacaan shalat lainnya, meski tanpa wudhu atau tayammum, dengan niat menghormati waktu.
Dan bila telah menemukan air atau tanah, maka dia wajib mengulangi shalatnya itu. [3]
4. Mazhab Al-Hanabilah
Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa orang itu harus tetap shalat apa adanya meski tanpa berwudhu' atau bertayammum. Dan tidak perlu mengulangi atau mengqada' shalatnya.[4]
Kurang lebih kalau kita masukkan dalam tabel grafik menjadi sebagai berikut :
MAZHAB | SHALAT | CARA | ULANGI |
Al-Hanafiyah | ya | gerakan saja | ya |
Al-Malikiyah | tidak | tidak | tidak |
As-Syafi'iyah | ya | sempurna | ya |
Al-Hanabilah | ya | ya | tidak |
NB:
Sebenarnya tidak ada keharusan bagi kita untuk memilih satu pendapat tertentu dari keempat mazhab di atas. Namun kalau antum bingung harus pakai pendapat yang mana, saran saya gunakan saja pendapat yang lebih hati-hati dan lebih aman, yaitu shalat dengan lengkap dan juga diqadha'. Dan itu adalah pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah.
Namun kalau antum mau memilih pendapat mazhab yang lain, tentu silahkan saja. Yang penting bila orang lain memilih yang bukan pilihan antum, jangan dimusuhi apalagi dicaci. Sebab keempat pendapat itu adalah hasil dari ijtihad para ulama yang punya kapasitas jauh di atas rata-rata kemampuan kita.
Sumber refrensi:
[1] 📙Ad-Dur AlMukhtar jilid 1 hal. 232, Maraqi Al-Falah hal. 21.
[2] 📙Asy-Syarh Al-Kabir jilid 1 hal. 162
[3] 📙Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab jilid 1 hal. 35
[4] 📙Mughni Al-Muhtaj jilid 1 hal. 105.
Penjelasan dan cara pelaksanaanya:
Istilah “Ash-Sholah Li Hurmatil Waqti” (الصلاة لحرمة الوقت) bisa dimaknai sederhana dengan “Salat untuk menghormati waktu”.
“Hurmah” (الحرمة) dalam istilah di atas adalah bentuk “isim mashdar” dari kata “ihtirom”. Jadi, ia bisa dimaknai “hal menghormati” atau “penghormatan” atau bahkan “sacredness/kesucian”. Yang jelas, “hurmah” itu mengandung makna bahwa ia tidak halal untuk dilanggar kehormatannya. Seorang istri bisa disebut “hurmah”, karena ia adalah kesucian yang tidak boleh dilanggar kehormatannya.
Adapun mengapa ada istilah “salat untuk menghormati waktu”, maka hal itu dikarenakan ada sejumlah situasi di mana seorang muslim sangat kesulitan untuk menjalankan salat sesuai dengan aturan idealnya yang mencakup pemenuhan syarat dan rukun. Contoh situasi situasi sulit itu di antaranya,
- Tidak menemukan air atau tanah untuk bersuci
- Tidak punya pakaian utnuk menutup aurat sehingga kondisinya telanjang
- Tidak tahu arah kiblat karena sedang tersesat atau berada di area asing yang tidak ada orang
- Sedang ditawan dan diikat sehingga tidak mungkin bersuci, rukuk dan sujud
- Terjebak dalam rawa sehingga tidak bisa rukuk dan sujud
- Duduk di kendaraan, baik kendaraan darat, laut maupun udara yang terbatas ‘space’-nya sehingga membatasi geraknya
- Duduk di tempat perkumpulan lautan manusia yang membatasi gerak
- Duduk di kendaraan dan kuatir tertinggal rombongan jika singgah untuk salat
- Waktu yang dimiliki sempit yang tidak cukup untuk wudhu atau mandi atau tayamum,
- Di badan ada najis dan tidak mampu menghilangkannya dengan cepat,
- Dan lain-lain.
Dalam kondisi normal, orang yang salat tanpa bersuci jelas tidak sah. Dalam kondisi normal, orang yang salat dengan tidak melakukan rukun (seperti berdiri, rukuk, sujud) jelas juga tidak sah. Akan tetapi, sangat dimungkinkan ada situasi-situasi “abnormal” seperti di atas yang menghalangi seorang muslim untuk salat secara sempurna dengan memenuhi syarat dan rukunnya. Nah, situasi seperti inilah yang melahirkan fatwa “salat dalam rangka menghormati waktu”. Maksud salat untuk menghormati waktu adalah salat semampunya, meskipun tidak memenuhi syarat dan rukun dengan maksud untuk mengagungkan syi’ar Allah, meskipun secara hukum fikih salat seperti itu dalam kondisi normal dihukumi tidak sah.
Istilah salat untuk menghormati waktu di antaranya di sebutkan Imam-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’.
“Jika waktu sholat wajib telah tiba, sementara mereka sedang melakukan perjalanan dan kuatir jika singgah turun ke tanah untuk melakukan salat menghadap kiblat nanti akan ketinggalan rombongannya, atau kuatir keselamatan dirinya, atau kuatir keselamatan hartanya, maka tidak boleh meninggalkan salat itu dan mengeluarkan salat itu dari waktunya, tetapi yang benar dia harus salat di atas kendaraan untuk menghormati waktu dan wajib untuk mengulanginya karena itu hanyalah uzur yang jarang”
Dalam kitab “Al-Adzkar” An-Nawawi juga memfatwakan “salat lihurmatil waqti” dalam kasus seorang muslim tidak sanggup menemukan air atau tanah untuk bersuci. An-Nawawi berkata,
“Adapun jika orang yang junub itu tidak menemukan air atau tanah, maka dia tetap salat untuk menghormati waktu sesuai dengan kondisinya”
Kesucian dan kehormatan waktu tidak hanya dimiliki oleh ibadah salat, tetapi juga dimiliki oleh ibadah puasa Ramadan. Konsekuensinya, jika ada wanita yang haid diakhir bulan Sya’ban, lalu dia sucinya di waktu Zuhur di bulan Ramadan, maka dia wajib “imsak” (menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh) sampai waktu maghrib “lihurmatil waqti”, yakni menjaga kehormatan dan kesucian waktu puasa bulan Ramadan.
Demikian pula orang yang terlambat menerima berita terlihatnya hilal Ramadan. Jika berita terlihatnya hilal Ramadan itu datang jam 09.00 pagi misalnya, maka dia wajib “imsak” mulai jam 09.00 pagi itu sampai datang waktu maghrib.
Termasuk pula orang kafir yang baru masuk Islam. Jika dia masuk Islam di bulan Ramadan jam 15.00 sore misalnya, maka dianjurkan dia melakukan “imsak” sampai datang waktu maghrib. An-Nawawi berkata,
“Imsak” yang dilakukan ini tidak dihitung puasa. Tetapi hanya semata-mata “meniru” orang puasa untuk menjaga kehormatan waktu puasa Ramadan. Artinya, jika sudah selesai bulan Ramadan berarti hari tersebut harus di-qodho/’diganti puasanya dengan hari yang lain.
Tambahan ibaroh:
الفقه الاسلامي وأدلته للزحيلي (608/ 1📙
الشافعية: يصلي فاقد الطهورين الفرض وحده في المذهب الجديد على حسب حاله بنية وقراءة، لأجل حرمة الوقت، ولا يصلي النافلة ويعيد الصلاة، إذا وجد الماء أو التراب في مكان لا ماء فيه؛ لأن هذا العذر نادر ولا دوام له، ولأن العجز عن الطهارة التي هي شرط من شروط الصلاة لا يبيح ترك الصلاة، كستر العورة وإزالة النجاسة، واستقبال القبلة، والقيام والقراءة. ومن على بدنه نجاسة يخاف من غسلها، ومن حبس عن الصلاة كفاقد الطهورين يصلون الفريضة فقط، إلا أن الجنب يقتصر على قراءة الفاتحة فقط.
Madzhab Syafii: orang yang Faqidu ath-Thahurain harus tetap shalat sesuai kondisinya dengan tetap niat dan membaca surat al-Fatihah dan lainnya untuk menghormati waktu dan tidak perlu shalat sunnah. Namun jika sudah mendapati air atau tanah maka wajib mengulangi shalat sebab hal tadi sifatnya hanya udzur sementara.
Dan juga orang yang tidak mampu bersuci padahal hal ini syarat sah shalat tidak boleh meninggalkan shalat. Seperti halnya juga tidak bisa menutup aurat, tidak bisa menghilangkan najis, tidak bisa menghadap kiblat dan tidak bisa berdiri misalnya.
Orang yang tidak bisa menghilangkan najis dan yang tidak bisa shalat maka posisinya seperti Faqidhu ath- Thahurain. Tetap shalat 5 waktu. Namun jika junub cukup membaca al-Fatihah saja.
orang hadats besar yang tidak menemukan air dan debu didalam shalatnya wajib baca faatìhah begitu jga wajib membaca ayat pengganti fatihah di kala tidak mampu membaca faatihah, dan jga wajib membaca bacaan ayat qur'an yang wajib di luar shalat shalat seperti membaca ayat dalam khuthbah jum'at dan bacaan ayat yang di nadzarkan di waktu tertentu yang mana pada saat tertentu tersebut tidak menemukan air dan debu :
.يجوز لفاقد الطهورين قرأة الفاتحة في الصلاة بل تجب كما صححه النووي، فلا يعتبر المانع وهو الجنب وكالفاتحة آية خطبة الجمعة وما لو نذر القرأة في وقت معين فأجنب فيه وفقد الطهورين فيقرأ وجوبا لكن بقصدها لا مطلقا،قوله الفاتحة ومثلها بدلها عند العجز. الشرقاوي ١/٨٥📙
فاقد الطهورين يقرأ الفاتحة في الصلاة الواجبة ومثلها القرأة الواجة خارج الصلاة كأن نذر أن يقرأ سورة يس في وقت كذا فكان في ذلك الوقت جنبا فاقدا للطهورين فإنه يقرأها للضرورة.
الباجوري ١/١١٦📙
Hukumnya wajib bagi yang tidak mendapati 2 alat sesuci ( air dan debu) baik hadas kecil atau hadas besar.
📙Kifayatul Akhyar juz 1 hal 89
ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﻟِﺼِﺤَّﺔِ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺤَﺪَﺙِ ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻓِﻰ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻷَﺻْﻐَﺮُ ﻭﺍﻷﻛْﺒَﺮُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻘُﺪْﺭَﺓِ . ﻻﻥَّ ﻓَﺎﻗِﺪَ ﺍﻟﻄَﻬُﻮﺭَﻳْﻦِ ﻳَﺠِﺐُ ﺍﻥ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﻋَﻠَﻰ ﺣَﺴَﺐِ ﺣَﺎﻟِﻪِ ﻭَﺗَﺠِﺐُ ﺍﻹِﻋَﺎﺩَﺓُ ﻭَﺗُﻮﺻَﻒُ ﺻَﻼَﺗُﻪُ ﺑِﺎﻟﺼِّﺤَّﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼَﺤٍﻴْﺢِ .
- ﻓﺎﻗﺪ ﺍﻟﻄﻬﻮﺭﻳﻦ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﻣﺎﺀ ﻭﻻ ﺻﻌﻴﺪﺍ ﻳﺘﻴﻤﻢ ﺑﻪ ، ﻛﺄﻥ ﺣﺒﺲ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﻤﺎ ، ﺃﻭ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﻧﺠﺲ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﻳﺘﻴﻤﻢ ﺑﻪ ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺤﺘﺎﺟﺎ ﻟﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺬﻱ ﻣﻌﻪ ﻟﻌﻄﺶ ، ﻭﻛﺎﻟﻤﺼﻠﻮﺏ ﻭﺭﺍﻛﺐ ﺳﻔﻴﻨﺔ ﻻ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺎﺀ ، ﻭﻛﻤﻦ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﻻ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﻟﻤﺮﺽ ﻭﻧﺤﻮﻩ . ﻓﺬﻫﺐ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺻﻼﺓ ﻓﺎﻗﺪ ﺍﻟﻄﻬﻮﺭﻳﻦ ﻭﺍﺟﺒﺔ ﻟﺤﺮﻣﺔ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻭﻻ ﺗﺴﻘﻂ ﻋﻨﻪ ﻣﻊ ﻭﺟﻮﺏ ﺇﻋﺎﺩﺗﻬﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ، ﻭﻻ ﺗﺠﺐ ﺇﻋﺎﺩﺗﻬﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ، ﺃﻣﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻨﻪ ﺳﺎﻗﻄﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺃﺩﺍﺀ ﻭﻗﻀﺎﺀ
Contoh niat Sholatnya:
ﺍﺻﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻟﺤﺮﻣﺔ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
Bolehkah kita bermakmum/berjamaah dgn mereka?
Tidak boleh Berjamaah/bermakmum kepada orang yang melakukan shalat lihurmatil wakti (karen tidak adanya suci dari dua hadas). Dan juga karena tidak memenuhi syaratnya الإقتداء(bermakmum).
Selain itu shalat jamaah/bermakmum adalah merupakan ikatan shalat yang sempurna. Maka suatu keharusan dalam shalat berjamaah minimal adanya imam dan makmun kecuali shalat ‘id dan shalat jum’at, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw,: “Dua orang ataupun lebih maka itu adalah berjamaah”. Ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, beserta Abbas ra. Jamaah (dua orang) baik salah satunya adalah laki-laki atau perempuan atau anak2 yang berakal. Karena itu Rasulullah Saw, menyebutnya berjamaah atas mereka berdua.
Adapun orang yang gila dan anak kecil yang tidak berakal maka tidak termasuk dalam kategori ahli jamaah. Oleh karenanya dalam shalat berjamaah ada syarat- tertentu sebagaimana dalam ibarah berikut:
Referensi :
موسوعة الفقهية ص: ٣٣١١/٣١٩٤٩📙
الاِقْتِدَاءُ فِي الصَّلاَةِ
٧- الاِقْتِدَاءُ فِي الصَّلاَةِ هُوَ: رَبْطُ صَلاَةِ الْمُؤْتَمِّ بِصَلاَةِ الإِْمَامِ كَمَا سَبَقَ، فَلاَ بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ إِمَامٌ وَمُقْتَدٍ، وَلَوْ وَاحِدًا. وَأَقَل مَنْ تَنْعَقِدُ بِهِ الْجَمَاعَةُ – فِي غَيْرِ الْعِيدَيْنِ وَالْجُمُعَةِ اثْنَانِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مَعَ الإِْمَامِ وَاحِدٌ، لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الاِثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَة) وَلِفِعْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حِينَ صَلَّى بِابْنِ عباس وَحْدَهُ.
وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ الْوَاحِدُ رَجُلاً أَوِ امْرَأَةً أَوْ صَبِيًّا يَعْقِل، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمَّى الاِثْنَيْنِ مُطْلَقًا جَمَاعَةً.
وَأَمَّا الْمَجْنُونُ وَالصَّبِيُّ الَّذِي لاَ يَعْقِل فَلاَ عِبْرَةَ بِهِمَا، لأَِنَّهُمَا لَيْسَا مِنْ أَهْل الصَّلاَةِ. (٣)
هَذَا، وَهُنَاكَ شُرُوطٌ لاَ بُدَّ مِنْ تَوَفُّرِهَا فِي الاِقْتِدَاءِ وَالْمُقْتَدَى بِهِ (الإِْمَامِ) ، وَحَالاَتٌ تَخُصُّ الْمُقْتَدِيَ أَيْ (الْمَأْمُومَ) نَذْكُرُهَا فِيمَا يَلِي:
شُرُوطُ الْمُقْتَدَى بِهِ (الإِْمَام) يُشْتَرَطُ فِي الإِْمَامِ فِي الْجُمْلَةِ: الإِْسْلاَمُ وَالْعَقْل اتِّفَاقًا، وَالْبُلُوغُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ، وَكَذَلِكَ الذُّكُورَةُ إِذَا كَانَ الْمُقْتَدُونَ ذُكُورًا، وَالسَّلاَمَةُ مِنَ الأَْعْذَارِ – كَرُعَافٍ وَسَلَسِ الْبَوْل – إِذَا اقْتَدَى بِهِ أَصِحَّاءُ، وَالسَّلاَمَةُ مِنْ عَاهَاتِ اللِّسَانِ – كَفَأْفَأَةٍ وَتَمْتَمَةٍ – إِذَا اقْتَدَى بِهِ السَّلِيمُ مِنْهُمَا، وَكَذَا السَّلاَمَةُ مِنْ فَقْدِ شَرْطٍ،كَطهَارةٍ ، وَسِتْرِ الْعَوْرَةِ….الخ
( ١)📙 حديث: ” الاثنان فما فوقهما جماعة. . . ” أخرجه ابن ماجه (١ / ٣١٢ – ط الحلبي) وقال الحافظ البوصيري في الزوائد: الربيع وولده ضعيفان.
(٢)📙 حديث: ” صلى النبي صلى الله عليه وسلم بابن عباس وحده. . . “. أخرجه البخاري (٢ / ١٩٠- الفتح – ط السلفية) .
(٣)📙 البدائع ١ / ١٥٦ .والقليوبي ١ / ٢٢٠، وكشاف القناع ١ / ٤٥٣ وجواهر الإكليل ١ / ٧٦
والله أعلم بالصواب
Komentar
Posting Komentar