Hukum Berdalil kepada Aqura'an saja
Diskripsi maslah:
Kadang kami menjumpai ada seorang yang kadar pengetahuan agamanya masih meragukan karena memang baru belajar Islam belum lama tetapi ia dengan percaya diri mengatakan, “Saya tidak mengikuti salah satu madzhab manapun, saya hanya mengamalkan apa yang disampaikan Al-Quran dan Sunah.” Ketika ada orang lain yang memberikan penjelasan dengan merujuk kepada ulama yang kompeten dalam bidangnya, ia enggan menerimanya. Hal ini karena disebabkan ia merasa sudah bisa memahami kandungan ayat atau hadits yang ia sampaikan.
Pertanyaan :
Yang ingin kami tanyakan apakah sikap orang tersebut dapat dibolehkan?
Bagaimana jika ada yg berkata "bahwa Al-Qur’an telah sempurna hukumnya, mengapa perlu adanya hadis Nabi ?"
Jawaban :
Alqur'an: Adalah Mujmal.
Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafadh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir/hadist
Hadist Adalah penafsil Alqur'an:
Hadits dalam hukum Islam dianggap sebagai mashdarun tsanin (sumber kedua) setelah Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-ajaran Islam yang disebutkan secara global dalam Al-Quran. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan Al-Quran terhadap hadits sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kebutuhan hadits terhadap Al-Quran. Kendati demikian, seorang Muslim tidak dibenarkan untuk mengambil salah satu dan membuang yang lainnya karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama kali para ulama harus menelitinya di dalam Al-Quran. Kemudian setelah itu, baru mencari bandingan dan penjelasannya di dalam hadits-hadits Nabi karena pada dasarnya tidak satupun ayat yang ada dalam Al-Quran kecuali dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi. Dengan sinergi beberapa ayat dan hadits tersebut, seorang ulama bisa memutuskan hukum-hukum agama sesuai dengan persoalan yang dihadapi, tentunya dengan dukungan ilmu dan perangkat pengetahuan yang mumpuni terhadap kedua sumber tersebut. Menurut Abdul Wahab Khallaf, seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, hadits mempunyai paling tidak tiga fungsi utama dalam kaitannya dengan Al-Quran : Pertama, hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum yang ada dalam Al-Quran seperti perintah shalat, puasa, zakat dan haji. Abdul Wahab Khallaf mengatakan:
إما أن تكون سنة مقررة ومؤكدة حكما جاء في القرآن
Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat terhadap hukum yang ada dalam Al-Quran.” Kedua, hadits juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir segala hukum yang bersifat global dalam Al-Quran, seperti menjelaskan tatacara shalat, puasa, zakat dan haji.
إما أن تكون سنة مفصلِّة ومفسِّرة لما جاء في القرآن
Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penjelas dan penafsir terhadap hukum global/umum yang disebutkan dalam Al-Quran.” Ketiga, hadits juga berfungsi sebagai pembuat serta memproduksi hukum yang belum dijelaskan oleh Al-Quran seperti hukum mempoligami seorang perempuan sekaligus dengan bibinya, hukum memakan hewan yang bertaring, burung yang berkuku tajam dan lain sebagainya. Khallaf kembali mengatakan sebagai berikut.
وإما أن تكون سنة مثبِتَة ومنشِئَة حُكما سكت عنه
القرآن
Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penetap dan pencipta hukum baru yang belum disebutkan oleh Al-Quran.” Dengan demikian, karena begitu pentingnya posisi hadits dalam konsepsi hukum Islam, maka seseorang yang akan berkecimpung di dalamnya diharuskan untuk mengenal istilah dasar dalam ilmu hadits, menguasai kaidah-kaidah takhrij dan kajian sanadnya, serta mengetahui seluk beluk dan tatacara memahami redaksinya. Pembacaan yang tidak paripurna serta serampangan terhadap hadits akan membuat seseorang keliru dan bahkan juga membuat keliru orang lain.
contoh: dalam alquran memerintahkan kita untuk sholat:
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
tapi tidak dijelaskan bagaimana sholatnya dan berapa rokaatnya sehinga dijelaskan oleh hadist nabi maka hadist dikatakan tafshil
عن عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ أَوَّلَ مَا افْتُرِضَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةُ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ إِلَّا الْمَغْرِبَ فَإِنَّهَا كَانَتْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَتَمَّ اللَّهُ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْعِشَاءَ الْآخِرَةَ أَرْبَعًا فِي الْحَضَرِ وَأَقَرَّ الصَّلَاةَ عَلَى فَرْضِهَا الْأَوَّلِ فِي السَّفَرِ
NB :
Pengambilan putusan hukum dengan langsung merujuk pada nash Al-Quran maupun hadits adalah pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sembarang orang. Hanya orang-orang yang memiliki daya intektual yang memadai dengan ketentuan-ketentuan yang ketat. Karena memang faktanya memahami sebuah ayat atau hadits bukanlah pekerjaan mudah, dibutuhkan penguasaan berbagai disiplin ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu mushtalahul hadits, sharaf, nahwu, dan lain sebagainya. Di samping itu yang tak kalah pentingnya adalah menelisik pandangan-pandangan ulama sebelumnya yang mu’tabar. Misalnya ketika kita berbicara tentang status hukum kejadian tertentu dengan merujuk kepada Al-Quran atau hadits, maka salah satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah memperhatikan pandangan para fuqaha terdahulu tentang bagaimana mereka memahami ayat atau hadits tersebut. Begitu juga pandangan para ahli tafsir atau pensyarah hadits yang sudah mu’tabar atau diakui. Dari sini kemudian muncul pertanyaan apakah sikap orang tersebut dibolehkan mengingat ia adalah orang yang pengetahuan agamanya masih meragukan karena baru belajar tentang Islam? Dalam kontkes ini, ada baiknya kami mengetengahkan kembali pandangan Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbili, seorang ulama besar yang wafat pada tahun 1914, penganut Madzhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyyah. Dalam Kitab Tanwirul Qulub yang merupakan kitab yang sudah masyhur di kalangan pesantren, ia mengatakan sebagai berikut:
وَمَنْ لَمْ يُقَلِّدْ وَاحِدًا مِنْهُمْ وَقَالَ أَنَا أَعْمَلُ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مُدَّعِيًا فَهْمَ اْلأَحْكَامِ مِنْهُمَا فَلاَ يُسْلَمُ لَهُ بَلْ هُوَ مُخْطِئٌ ضَالٌّ مُضِلٌّ سِيَّمَا فِيْ هَذَا الزَّمَانِ الَّذِيْ عَمَّ فِيْهِ الْفِسْقُ وَكَثُرَتْ فِيْهِ الدَّعْوَى الْبَاطِلَةُ لِأَنَّهُ اسْتَظْهَرَ عَلَى أَئِمَّةِ الدِّيْنِ وَهُوَ دُوْنَهُمْ فِي الْعِلْمِ وَالْعَدَالَةِ وَاْلإِطِّلاَعِ
Artinya, “Barang siapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (imam-imam madzhab) dan berkata, ‘Saya beramal berdasarkan Al-Quran dan hadits,’ dan mengaku telah mampu memahami hukum-hukum Al-Quran dan hadits, maka orang tersebut tidak bisa diterima. Ia bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan, terutama pada masa sekarang ini di mana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwaan atau klaim-klaim batil. Pasalnya, ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, integritas, dan analisis,”
📕Lihat Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbili, Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub, Beirut, Darul Fikr, 1994 M/1414 H, halaman 75).
Jika pandangan Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbili ini ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas, maka pesan penting yang ingin disampaikan adalah ketidakbolehan bagi kita sebagai orang awam ketika berbicara mengenai persoalan untuk merujuk langsung Al-Quran dan hadits dengan mengabaikan pandangan-pandangan ulama yang sudah dianggap mu’tabar atau diakui dan diterima pendapatnya. Hal ini lebih dikarenakan kerendahan tingkat keilmuan, amaliah, dan analisis kita dibanding dengan mereka. Lain ceritanya ketika yang berbicara tentang suatu hukum adalah orang-orang yang bisa dikategorikan sebagai orang yang mumpuni, memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang hukum Islam.
Wallahu A'lamu bisshowab.
______________________________
Penanggung jawab: @ummi/ امي دندازهيرة
Perumus dan mujawwib: @Ust khosiyanto spdi @ust Aby Abd Hady @Ustadz M . Hasyiem Ritonga spd @Ustad عاشق العلماء, @ustd Ishadi dan Tim Admin yg lainnya.
Komentar
Posting Komentar